Kota Sawahlunto mungkin hanya seluas 274 Km² dan dihuni oleh sekitar 53.000 jiwa. Namun, kota ini menyimpan sejarah kelam pekerja paksa di pertambangan yang dikuasai oleh kolonial Belanda.
Pada tahun 1858, seorang ahli geologi kebangsaan Belanda, de Groet, menemukan kandungan batubara di sekitar Sungai Ombilin, Sumatera Barat. Penelitian lanjutan dilakukan oleh R. DM. Verbeck sekitar 10 tahun kemudian dengan hasil yang cukup mencengangkan. Daerah-daerah di sekitar sungai tersebut mengandung batubara hingga kisaran puluhan juta. Baru pada tahun 1892, poduksi pertambangan batubara di Ombilin dimulai.
Pada mulanya penambang diambil dari penjara Sawahlunto. Namun banyak tahanan yang dibawa ke Pidie untuk menjadi pengangkut logistik dalam Perang Aceh. Mengingat kebutuhan tenaga kerja yang besar di daerah pertambangan, maka tahanan kriminal maupun politik di penjara Hindia Belanda dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Bali turut dipekerjakan. Kaki mereka dirantai agar tidak melarikan diri. Sejak itu, buruh kerja paksa pertambangan disebut orang rantai.
Kiri: Galeri Infobox yang dulunya dipakai sebagai Gedung Pertemuan Buruh. Kanan: Galeri Infobox menyimpan banyak dokumentasi foto suasana Lubang Mbah Soero.
Kiri: Rantai yang dulu dipakai oleh para pekerja tambang di Lubang Mbah Soero. Kanan: Patung Mbah Soero sebagai bentuk penghargaan atas andilnya di kompleks pertambangan ini.
Salah satu bekas pertambangan batubara yang masih terdapat di Sawahlunto adalah Lubang Mbah Soero. Lokasi tepatnya di Tangsi Baru Kelurahan Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar. Lubang ini kembali dibuka pada 2007 oleh pemerintah daerah setelah melalui beberapa kali pemugaran untuk keperluan pariwisata. Saluran air dan udara ditambahkan agar pengunjung dapat memasukinya dengan nyaman.
Pintu masuk menuju Lubang Mbah Soero berada di halaman belakang Galeri Infobox.Awal Desember lalu Wego berkesempatan mengunjungi Lubang Mbah Soero bersama rombongan Mandala Airlines. Setiap pengunjung yang ingin memasuki lubang wajib memakai helm dan sepatu boot, dan ditemani seorang pemandu.
Dengan memakai helm dan boot, sang pemandu bercerita tentang asal muasal nama tempat ini. Soero adalah nama seorang mandor yang dulu bertugas di sini. Ia dikenal sebagai seorang pekerja keras, tegas, dan disegani oleh para buruh dan orang-orang di sekitarnya. Namanya kemudian diabadikan sebagai nama lubang ini sejak dibuka kembali beberapa tahun silam.
Lubang Mbah Soero memiliki tinggi dan lebar sekitar 2 m. Kedalamannya mencapai 15 m dari permukaan tanah, dengan total panjang lubang mencapai ratusan meter. Namun karena proses pemugaran masih berlangsung, panjang lubang yang bisa diakses hanya sejauh 30 m. Di beberapa bagian, pintu lubang yang menuju ke kedalaman lebih ditutup menggunakan terali besi atau disemen rapat. Termasuk salah satunya adalah “rongga pengorbanan” yang dulu digunakan untuk menaruh pekerja tambang yang sekarat.
Setiap wisatawan yang datang akan ditemani oleh pemandu yang menjelaskan sejarah dan kondisi masa kini Lubang Mbah Soero.Banyak cerita bernuansa mistik yang terjadi di lubang ini. Petugas pemugaran pernah menemukan sepotong tulang kaki manusia yang diduga milik pekerja tambang. Ia kemudian menyerahkan kepada pihak museum untuk disimpan. Beberapa hari setelahnya, petugas tersebut mengaku didatangi oleh pemilik tulang tersebut melalui mimpi yang meminta tulangnya dikuburkan dengan benar sesuai adat Islam.
Panjang terowongan yang bisa diakses hanya 30 meter saja karena sebagiannya masih dipugar.Sang pemandu juga pernah bercerita bahwa pernah ada pengunjung yang menangis sejadi-jadinya karena mengaku ia dapat “melihat” suasana kerja paksa di pertambangan ini. Ia pilu melihat para manusia rantai yang diperlakukan dengan kejam. Pintu keluar Lubang Mbah Soero berada di seberang jalan, berhadapan dengan museum atau yang disebut sebagai Galeri Infobox.
Tak jauh dari sini, terdapat bangunan lain yang juga menyimpan sejarah manusia rantai, yakni Museum Goedang Ransum. Museum ini dulunya merupakan dapur umum yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1918 untuk mensuplai makanan bagi para pekerja tambang dan pasien di rumah sakit. Di sini tersimpan banyak peralatan masak berukuran besar, seperti kuali, wajan, tempat nasi, dan sebagainya.
Kita juga dapat melihat daftar menu harian yang terpampang di dinding museum. Di dalam lemari kaca yang terletak di hadapannya, replika menu makanan seperti nasi, ikan goreng, dan telur balado tersaji dengan rapi.
Kiri: Kuali besar yang dulu dipakai untuk membuat masakan bagi para pekerja tambang. Kanan: Contoh lauk-pauk hasil olahan Goedang Ransum.
Selain peralatan masak, museum ini juga memiliki banyak dokumentasi foto suasana pertambangan di Sawahlunto, dan kehidupan di Gudang Ransum pada masa silam.
Koleksi foto yang terdapat di Museum Goedang Ransum.Di bagian belakang terdapat foto tokoh kenegaraan, Muhammad Yamin, yang dilahirkan di Talawi, Sawahlunto. Ada pulo foto Mohammad Hatta yang juga berdarah Sumatera Barat, tepatnya Bukittinggi, saat berkunjung ke Sawahlunto.
Kiri: Generator besar yang digunakan untuk memasak ransum ini menggunakan bahan bakar batu bara. Kanan: Batu nisan para pekerja tambang yang hanya bertuliskan nomor tanpa.
Di halaman belakang museum terdapat generator berukuran besar yang dulu digunakan sebagai sumber tenaga untuk memasak makanan. Bahan bakar yang digunakan saat itu tentu saja batubara. Kini, tungku buatan Jerman pada abad ke-18 tersebut sudah tidak aktif lagi. Di sampingnya teronggok banyak batu nisan para pekerja tambang yang hanya bertuliskan angka, tanpa nama. Sehingga sulit bagi keluarga korban untuk mencari lokasi makam anggota keluarganya yang menjadi pekerja paksa di pertambangan.
Lubang Mbah Soero
Jam operasional: Senin – Minggu Pukul 09:00 – 17:30 WIB
Harga tiket masuk: Rp 8.000
Museum Goedang Ransum
Jam operasional: Selasa – Minggu Pukul 08:00 – 17:oo WIB
Harga tiket masuk: Dewasa Rp 4.000, anak-anak Rp 2.000
0 comments:
Post a Comment