A picture is worth a thousand words. Konsep dan semangat itulah yang dipercaya Barry Kusuma dalam menekuni profesinya sebagai seorang fotografer perjalanan.
Selama bertahun-tahun, Barry mendokumentasikan keindahan alam dan kekayaan budaya Indonesia dengan kamera DSLR miliknya. Ia beruntung menjadi salah satu dari sedikit orang yang bisa menghasilkan uang dari hobi yang tekuninya.
Hobi ini berawal dari sekitar tahun 2000. Saat itu, Barry yang baru lulus SMA sudah hobi jalan-jalan sambil membawa kamera kesayangannya meskipun belum serutin sekarang. Berhubung teknologi belum secanggih saat ini, kamera yang ia pakai masih menggunakan film. Ongkos produksi untuk membeli isi film dan mencetak foto terhitung tinggi. Belum lagi kerumitan saat harus memindai foto-foto tersebut. Tak heran jika begitu kamera digital saku mulai masuk Indonesia, Barry antusias meng-upgrade ‘persenjataannya’. “Ternyata pakai (kamera) digital pocket kualitasnya kurang bagus untuk keperluan komersil. Akhirnya sembari jalan gue ganti dengan DSLR sekitar tahun 2001-2002.” ujarnya beralasan.
Deretan rumah khas Toraja di Desa Kete Kesu yang mencuri perhatian Barry saat berkunjung ke Sulawesi Selatan.Motivasi Barry saat memutuskan untuk mengabadikan foto-foto selama di perjalanan sederhana saja. “Rugi banget kalau traveling nggak sambil foto-foto.” Apalagi menurutnya, Indonesia tidak cukup hanya digambarkan dengan kata-kata. “Sebagian besar orang Indonesia itu nggak mau rugi. Mereka mau lihat dulu (foto lokasinya), kalau bagus baru datang,” imbuhnya.
Berawal dari hobi, kini Barry bisa hidup murni dari penghasilannya sebagai seorang fotografer perjalanan. Ia dipercaya menjadi kontributor beberapa majalah dan situs perjalanan, dan juga kontributor khusus pariwisata Indonesia untuk situs penyedia foto GettyImages.
Suasana pasar terapung Lok Baintan dan Muara Kuin di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.Baru-baru ini Barry juga terpilih sebagai salah satu dari 50 Creative Tourism Ambassador oleh Kemenparekraf untuk kategori Netizen. Ia selama ini memang cukup aktif berbagi cerita seputar pariwisata Indonesia di blog maupun media sosial. Ia memiliki dua blog perjalanan, yakni alambudaya.com yang ditulis dalam bahasa Indonesia, dan smileindonesia.com dalam bahasa Inggris.
Buku saku perjalanan berjudul “15 Destinasi Wisata terbaik di Indonesia” karangan Barry Kusuma.Selain itu, ia juga aktif di Twitter dan Instagram, dan keduanya mengunakan @BarryKusuma sebagai nama akun. Selain kamera, ponsel dan iPad adalah gadget yang tak pernah lupa ia bawa saat traveling. Ia akan mengunggah foto-foto dan cerita tentang destinasi tersebut. Harapannya agar orang-orang mendapatkan informasi dan tergugah untuk mengeksplorasi negeri sendiri. “Tapi berhubung beberapa daerah di Indonesia susah sinyal, biasanya baru akan gue share malam hari begitu sampai di hotel,” tambahnya. “Yang pasti gue berkomitmen untuk selalu sharing tentang Indonesia saat traveling.”
Tahun 2012 cukup melambungkan nama Barry Kusuma sebagai seorang fotografer perjalanan. Setelah diganjar penghargaan dari Kemenparekraf, akhir tahun lalu ia juga menerbitkan buku perjalanan pertamanya yang berjudul 15 Destinasi Wisata Terbaik di Indonesia.
Sesuai judulnya di buku setebal 112 halaman ini Barry merangkum destinasi-destinasi wisata terbaik yang pernah ia sambangi, baik dari segi alam maupun budaya. Setiap destinasi ia ulas secara ringkas dan padat menjadi beberapa bagian, antara lain transportasi, penginapan, tempat makan, objek wisata, contoh itinerary, dan tip foto travel.
Tak seperti traveler lain yang senang melabeli diri mereka, Barry tak memusingkan hal itu. Ia mengaku bisa masuk ke kategori apa saja; backpacker, flashpacker, atau turis koper. Namun ia mengaku lebih menikmati blusukan ke perkampungan adat demi menggali dan mendokumentasikan tradisi dan budaya setempat.
Bagaimana dengan city trip? “Ah, kalau itu gue suka wisata kulinernya saja.” jawab pria penggemar masakan Padang ini disambung derai tawa.
Jam terbang dan kegigihan membuat Barry mampu menghasilkan foto budaya yang memiliki nilai kuat seperti tradisi Lompat Batu Nias ini.Dari sekian banyak daerah yang pernah ia sambangi, Barry masih terkesan dengan budaya dan kearifan lokal suku Dayak. “Untuk bisa mencapai perkampungan Dayak yang masih alami dan belum tergerus perkembangan zaman perlu usaha keras.” jelasnya. Selain Dayak, Ia juga merekomendasikan Maluku, Jawa, dan Bali sebagai daerah-daerah dengan kekayaan budaya yang menarik untuk disimak.
Tak lengkap menyelami tradisi dan budaya tradisional jika belum pernah menghadiri setidaknya salah satu festival kebudayaan daerah. Dengan bangga Barry mengakui bahwa dirinya adalah seorang festival hunter. Dari sekian banyak festival kebudayaan yang pernah ia hadiri, setidaknya ada enam festival yang menjadi favoritnya, yakni Dieng Culture Festival, Cap Go Meh di Singkawang, Festival Raja Ampat, Festival Teluk Jailolo, Pesta Tabuik Sumatera Barat, dan Festival Kutai Kertanegara.
Festival Maritim Raja Ampat yang biasa diadakan pada bulan Oktober setiap tahun di Papua Barat ini menjadi salah satu festival budaya terfavoritnya.Soal festival, Barry punya saran bagi para traveler yang juga menekuni hobi fotografi. “Kalau ke Raja Ampat, usahakan pas ada festival karena kita bisa dapat semua elemen; nature dan culture,” ujarnya, “uang yang akan keluar memang lebih banyak, tapi kita juga mendapatkan yang lebih.” Lebih lanjut ia mengatakan bahwa biaya transportasi ke Raja Ampat terhitung tinggi, sehingga sayang jika perjalanan ke surga dunia bawah laut tersebut tidak dimaksimalkan.
Untuk memotret budaya, Barry memakai lensa berukuran 17-55 mm. Lampu flash ia selalu nyalakan untuk menyiasati pencahayaan luar ruang yang tidak stabil. Sementara saat memotret lanskap ia memerlukan lensa wide.
Foto Pink Beach yang berlokasi di Pulau Komodo, Flores, Nusa Tenggara Timur ini adalah satu foto lanskap hasil jepretan Barry.Banyak daerah di Indonesia yang termasuk sakral atau dikeramatkan, sehingga para pengunjung dilarang memotret di area tersebut. Jika berada dalam kondisi ini, Barry akan menyimpan kameranya di dalam tas, dan tunduk pada peraturan tersebut. “Bukannya percaya (hal mistis), tapi gue menghormati adat istiadat mereka.”
Di banyak situasi, Barry akan melancarkan pendekatan yang lebih dibandingkan yang lain. Di sebuah pusat kerajinan tradisional misalnya. Alih-alih langsung memotret, ia akan mengajak ngobrol pengrajin cenderamata tersebut terlebih dahulu. Jika keadaan sudah rileks dan memungkinkan untuk pengambilan gambar, baru kemudian ia beraksi. Setelah puas mendapatkan gambar yang ia inginkan, biasanya ia akan membeli beberapa hasil kerajinan tangan tersebut sebagai bentuk apresiasi.
Unsur terpenting yang wajib dimiliki oleh seorang fotografer perjalanan menurutnya bukanlah kemahiran memotret, melainkan tahu cara membawa diri. Ia kemudian menceritakan salah satu pengalaman tak mengenakkannya saat mendokumentasikan upacara potong rambut anak gimbal di Dieng. Upacara ini populer dan menjadi atraksi wisata tersendiri. Tak heran jika perhelatannya selalu dipadati wisatawan, fotografer, maupun para pemburu berita.
Barry Kusuma di antara kera-kera penghuni Pulau Kembang, Kalimantan Selatan.Saat itu, salah seorang fotografer mengganggu jalannya upacara dengan meminta sang dukun untuk mengulang pemotongan rambut sekali lagi. Barry sedih melihat kenyataan ini, bahwa seseorang dapat mengabaikan norma kesopanan demi mendapatkan gambar yang bagus.
Pengalaman tak mengenakkan lainnya juga pernah ia saksikan saat perayaan Waisak di Candi Borobudur. Saat itu, beberapa orang fotografer dengan santainya memotret ummat yang sedang beribadah dengan khusuk dari dekat dengan menggunakan flash. “Itu tidak etis. Bagaimanapun juga, kita adalah tamu mereka. Banyak norma yang harus kita hormati.” ujarnya dengan mimik muka serius.
Sebelum mengakhiri perbincangan, Wego bertanya apakah untuk menjadi seorang fotografer perjalanan memerlukan kamera dengan peralatan yang lengkap. Dengan santai, ayah beranak satu ini menjelaskan, “Peralatan kamera yang lengkap bisa membuat kita belajar banyak. Tapi itu semua tergantung kebutuhan. Kalau hanya untuk sharing di social media atau keperluan artikel website, pakai smartphone sebenarnya cukup. Untuk majalah, bisa pakai kamera digital saku. Kalau untuk kebutuhan stok foto, ya harus pakai kamera DSLR.”
0 comments:
Post a Comment